Jakarta, mitra7.com – Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil dari LBH Jakarta Fadil Alfathan mempertanyakan Draft Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) terkait kewenangan yang sangat besar bagi polisi. Dia mempertanyakan terkait penambahan kewenangan tersebut.
Fadil mengatakan dalam posisi polisi banyak persoalan malah diberikan kewenangan yang sangat besar. Malahan dia juga menilai ada dominasi polisi dalam draf RUU KUHAP yang beredar di masyarakat.
Adapun jelas Fadil, tidak ada semangat untuk mengevaluasi lebih lanjut atas implementasi sistem peradilan pidana khusus yang dilakukan polisi. “Dalam konteks ini adalah sistem penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan polisi,” ujar Fadil, Jumat (21/3/2025).
Kemudian Fadil melanjutkan, dalam kondisi banyak kritik terhadap kinerja polisi, justru kewenangan lebih besar di RUU KUHAP diberikan kepada polisi. “Padahal kinerjanya bagi kami sangat buruk,” tuturnya.
Selanjutnya dalam konteks pidana korupsi, Direktur LBH Jakarta ini juga menyayangkan adanya pemangkasan kewenangan kejaksaan. Sebaliknya polisi yang dalam catatan koalisi banyak korupsi malah diberikan kewenangan lebih. “Secara sistem ini menjadi bermasalah,” ungkap Fadil.
Menurut dia Koalisi Masyarakat Sipil, menginginkan pengawasan berjenjang yang mengedepankan pengawasan lembaga yudisial. “Polisi boleh menangkap dan menahan tetapi harus ada pengawasan berjenjang,” ungkap Fadil.
Adapun saat ini, polisi seperti tinggal membalikkan telapak tangan saja ketika menangkap dan menahan seseorang. Padahal jika mengacu pada konsep HAM Internasional, ketika penegak hukum merampas hak seseorang untuk kepentingan penyelidikan hukum pidana maka harus dihadapkan dulu ke hakim.
Lebih lanjut aktivis koalisi masyarakat ini menyebutkan “Ditunjukkan lebih dulu bukti-bukti. Kalau sekarang kan tidak, tetapkan dulu sebagai tersangka lalu ditahan 40 hari atau berbulan-bulan, baru kemudian ketemu hakim di sidang pokok perkara,” lanjut Fadil.
Sementara itu Kejaksaan dalam konteks ini, kata Fadil, juga harus diberi peran untuk pengawasan dan membatasi kewenangan polisi dalam penyidikan. Menurut Fadil, tidak masuk akal jika yang menentukan tuduhan pasal pidana dari tersangka polisi, tetapi yang sidang di pengadilan jaksa.
Diungkapkan Fadil, “Menurut saya ini tidak masuk akal, sehingga harus ada perombakan yang sistemik di hukum acara pidana kita. Sehingga semua akan terintegrasi,” ungkapnya.
Adapun lanjut Fadil, sistem yang sekarang ada, upaya penegakan hukum seperti terpisah-pisah. “Apa yang dilakukan polisi seperti jaksa tidak punya kewenangan untuk melakukan kontrol. Demikian juga dengan Hakim. Cuma ada di praperadilan yang hanya 7 hari untuk membuktikan hal formil,” ujar dia.
Untuk itu aktivis Koalisi Masyarakat Sipil menginginkan sistem hukum yang lebih terintegrasi. Sehingga dalam integrasi ini ada pembatasan kewenangan dan pengawasan.
“Jadi ketika ada rumusan pasal yang membatasi kewenangan kejaksaan untuk menangani tindak pidana korupsi, begitu juga KPK, tetapi memberi ruang yang lebih pada polisi, maka itu harus dipertanyakan. Ini apa sebenarnya apa yang dituju,” ujarnya.
Selanjutnya dia menyebut, padahal merujuk pada UU Kejaksaan maupun UU KPK, kedua institusi ini memiliki kewenangan untuk mengusut pidana korupsi. (H.A)